Sebuah Cerpen dari Catatan Alvi.
Di sebuah desa bernama Ketapang Sari, Gus Miftah dikenal sebagai tokoh agama yang selalu membawa suasana ceria ke mana pun dia pergi. Ia sering berdakwah di tempat-tempat tak biasa, seperti warung kopi, pasar malam, bahkan di depan gerobak bakso. Karismanya memikat siapa saja, tetapi ada satu kelemahan Gus Miftah: dia kadang suka berbicara terlalu ceplas-ceplos.
Hari itu, kabar mengenai seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mulai ramai dibicarakan. Posisi untuk guru agama dibuka, dan Gus Miftah merasa terpanggil.
“Insya Allah, ini kesempatan bagus,” ujar Gus Miftah kepada santrinya. “Kalau saya diterima, bisa jadi jalan dakwah yang lebih luas.”
Santri-santrinya mendukung penuh. “Tapi Gus,” kata Mukhlas, salah satu santri senior, “kalau ikut seleksi, Gus harus lebih hati-hati bicara. Kadang celetukan Gus bikin orang lain baper.”
“Ah, itu kan cuma gaya saya. Santai saja, Mukhlas,” jawab Gus Miftah sambil tersenyum lebar.
---
Hari pertama pendaftaran, Gus Miftah berangkat ke kantor kecamatan. Dalam perjalanan, ia mampir di sebuah warung es teh yang cukup terkenal di desa itu.
“Mas, es tehnya satu, tapi jangan pelit gulanya ya,” ujar Gus Miftah sambil tertawa.
Pemilik warung, Mas Seno, yang sedang sibuk melayani pelanggan lain, hanya menjawab dengan senyum tipis. Namun, begitu es teh disajikan, Gus Miftah mengernyitkan dahi setelah mencicipinya.
“Waduh, Mas, ini teh atau air cucian beras? Pahit banget!” Gus Miftah bercanda dengan suara lantang.
Beberapa pelanggan di warung itu tertawa kecil, tetapi Mas Seno terlihat kesal. Ia hanya diam, mengangkat bahu, dan kembali ke dapur.
“Ah, santai saja, Mas. Gurauan itu vitamin untuk hidup,” kata Gus Miftah sambil melanjutkan minumnya.
Setelah itu, Gus Miftah melanjutkan perjalanannya ke kantor kecamatan. Ia mendaftar dengan semangat dan yakin bahwa seleksi ini hanyalah formalitas belaka.
---
Pada hari ujian seleksi PPPK, Gus Miftah tiba dengan percaya diri. Ia mengenakan baju koko putih bersih, peci hitam, dan senyum khas yang selalu menghiasi wajahnya. Peserta lain, termasuk beberapa guru honorer yang sudah lama mengabdi, terlihat tegang.
Di ruang ujian, suasana hening. Gus Miftah membaca soal dengan santai, sesekali tersenyum karena sebagian besar pertanyaan terasa mudah baginya. Namun, di tengah-tengah ujian, ia tersadar ada satu soal yang sedikit mengganggunya.
Soal : “Bagaimana Anda menangani konflik di tempat kerja yang melibatkan rekan kerja?”
Gus Miftah berpikir keras. Ia menulis jawabannya dengan penuh keyakinan:
“Konflik harus diselesaikan dengan humor. Kadang orang hanya perlu diajak bercanda agar suasana mencair.”
Selesai ujian, Gus Miftah keluar dengan percaya diri. “Ini gampang banget, kayak ngajarin anak kecil baca doa,” katanya kepada seorang peserta di sebelahnya.
---
Hari pengumuman hasil seleksi tiba. Gus Miftah berdiri di depan layar proyektor besar di aula kecamatan bersama puluhan peserta lainnya. Nama-nama yang lolos mulai ditampilkan satu per satu.
“Selamat kepada para peserta yang telah berhasil lolos seleksi PPPK!” kata salah seorang panitia.
Nama-nama terus muncul, tetapi nama Gus Miftah tidak kunjung terlihat. Hingga akhirnya, daftar tersebut selesai.
“Mungkin ada kesalahan?” gumam Gus Miftah sambil menggaruk kepala. Ia langsung menuju panitia untuk memastikan.
“Pak, maaf, kenapa nama saya tidak ada di daftar? Bukankah skor ujian saya cukup tinggi?” tanyanya dengan penasaran.
Panitia itu memeriksa data Gus Miftah di komputer, lalu menjawab dengan raut wajah canggung.
“Maaf, Gus. Bapak tidak lolos karena ada evaluasi tambahan dari para penilai. Ada laporan tentang sikap yang kurang sesuai,” ujar panitia tersebut.
Gus Miftah terkejut. “Laporan apa? Saya ini kan orangnya santai, tidak pernah bikin onar.”
Panitia itu akhirnya menjelaskan bahwa ada surat keberatan dari salah satu warga. Gus Miftah terdiam ketika membaca surat itu.
“Kepada panitia seleksi PPPK, saya ingin menyampaikan bahwa calon peserta bernama Gus Miftah pernah menghina pekerjaan saya sebagai tukang es teh. Kata-katanya sangat menyakitkan, dan saya merasa ia kurang pantas menjadi teladan di dunia pendidikan.”
Surat itu ditandatangani oleh Mas Seno, pemilik warung es teh.
---
Setelah membaca surat tersebut, Gus Miftah tersenyum kecut. Ia sadar bahwa ucapan spontan yang ia lontarkan di warung itu ternyata meninggalkan luka bagi Mas Seno.
Malam harinya, Gus Miftah mendatangi warung es teh Mas Seno. Ia membawa satu bungkusan besar berisi gula pasir terbaik yang ia beli dari pasar.
“Assalamu’alaikum, Mas Seno,” sapanya pelan.
Mas Seno, yang sedang membersihkan meja, terlihat terkejut. “Wa’alaikumussalam. Ada apa, Gus?”
“Saya mau minta maaf, Mas. Waktu itu saya bercanda, tapi ternyata bikin hati Mas Seno terluka. Ini ada sedikit gula sebagai permintaan maaf saya. Semoga es tehnya makin manis,” kata Gus Miftah dengan nada tulus.
Mas Seno terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Ah, Gus, sebenarnya saya juga nggak serius-serius amat soal surat itu. Saya cuma kesal waktu itu. Tapi, ya sudahlah, saya maafkan.”
Mereka berdua akhirnya duduk bersama di warung, berbincang sambil menikmati es teh buatan Mas Seno.
---
Epilog
Gus Miftah mungkin gagal dalam seleksi PPPK, tetapi pengalaman itu memberinya pelajaran berharga. Sejak saat itu, ia lebih berhati-hati dalam bercanda, terutama dengan orang yang baru ia kenal.
“Gagal itu bukan akhir,” katanya kepada santrinya. “Yang penting, kita belajar dari kesalahan dan tetap berbuat baik. Dan jangan lupa, kalau es teh pahit, jangan langsung protes. Mungkin gulanya belum diaduk.”
Cerita Gus Miftah menjadi bahan candaan di desa Ketapang Sari, tetapi sekaligus menjadi pelajaran bahwa humor pun ada batasnya. Dan siapa sangka, warung es teh Mas Seno justru menjadi tempat favorit baru Gus Miftah untuk berdakwah. 😊
---
Catatan
Cerita pendek di atas hanyalah karangan belaka walaupun terinspirasi dari beberapa berita yang sedang viral dan bertujuan untuk menghibur teman - teman sekalian. Terima kasih sudah membaca, semoga terhibur dan tidak tersinggung ya.
Salam hangat,
-Alvi-
Komentar
Posting Komentar