Langsung ke konten utama
Selamat datang di Catatan Alvi - Sebuah jejak pemikiran. Karena saya mulai mudah lupa.

Belajar Memaafkan Tanpa Menunggu Permintaan Maaf — Cara Jadi Kokoh Biar Nggak Selamanya Terikat Luka

Hai guys. Dengan gw Alvi. Gw mau bahas satu hal yang sering dianggap sepele tapi berdampak besar, yaitu  kita diajarin minta maaf sejak kecil , tapi jarang diajarin gimana caranya memaafkan orang (sekalipun orang itu nggak pernah minta maaf). Bagus sih anak harus diajar minta maaf karena itu soal tanggung jawab. Ketika salah maka harus minta maaf supaya dimaafkan. Biasanya anak kecil disuruh salaman sama orang tua atau guru. Dan kebiasaan tersebut bisa membuat kita menyimpulkan kalau memaafkan itu harus ada yang duluan minta maaf. Masalahnya, kalo kita cuma bisa memaafkan kalau ada kata "maaf" duluan, hidup bakal penuh tunggu-tungguan. Padahal, memaafkan tanpa diminta itu penting buat kesehatan hati kita sendiri. Bayangin aja, orang udah minta maaf aja belum tentu kita bisa maafin, apa lagi ini orangnya gak sadar kalau sudah melukai kita. Waktu kecil kemungkinan kita tinggal di lingkungan homogen . Misalnya kaya gw, tinggal di lingkungan yang mayoritas beragama Katolik dan ...

Nilai D yang Tak Terduga

Setelah selesai Ujian Akhir Semester dan dilanjutkan dengan libur yang paling gue tunggu adalah keluarnya Kartu Hasil Study (KHS) dari 7 mata kuliah yang gue ambil di semester 6 yaitu Teori Ekonomi Makro (matkul yang terpaksa gue ulang karena nilai sebelumnya jelek), Kewirausahaan, Manajemen Strategik, Auditing II, Manajemen Audit, Bahasa Indonesia (Matkul yang selalu gue hindari dari semester awal) dan Workshop Auditing gue paling merasa takut gak lulus di matkul Manajemen Audit karena saat UAS gue lupa tanda tangan dilembaran absensi. Bego banget gue.

Begitu gue dapet kabar kalau nilai sudah keluar di Sistem Informasi Akademik (SIKAD) langsung gue login ke akun SIKAD gue. Sempet panik karena gue beberapa kali gagal login. Ternyata caps lock-nya nyala. hehehe..

"What the hell?" (sambil pegang dahi gue yang lebar)

Ternyata salah satu matkul gue mendapat nilai D. Dan bukan di mata kuliah Manajemen Audit. Gue mendapat nilai D di mata kuliah Manajemen Strategik.

"Apa coba yang bikin nilainya D?" Tanya gue heran - heran kesal.

Ketika gue lihat komponen nilainya ternyata nilai tugas gue 0.

Gue gak terima dan gak bisa terima. Gue langsung ke bagian akademik untuk menceritakan ini semua dan gue diminta untuk langsung menghubungi dosen manajemen strategik langsung.

Percakapan di telepon :

Dosen : Halo selamat siang.

Gue : Siang bu.

Dosen : Maaf siapa ya?

Gue : Saya Alvi Bu, mahasiswa ****

Dosen : Maaf maaf saya tidak terima komplain nilai. (Lalu telpon putus tut tut tut)

Itu dia percakapan gue dengan dosen yang menurut gue songong banget. Tapi usaha gue gak berhenti sampai disitu. Gue coba untuk SMS si dosen. Begini history SMS-nya


Ini dosen menurut gue songong banget. Sekalinya balas langsung tuduh gue nyontek. Padahal kalo gue ketahuan nyontek saat UAS kenapa yang bermasalah nilai tugasnya?




Sumpah ini gue merasa lagi sok kalem banget. Padahal sih males banget bilang terimakasihnya.

Ya Tuhan, kenapa semua ini menimpa saya?

Dan tidak ada balasan lagi.

Gua anggap semua ini kesalahan gue dan gue gak mau memaksa dosen gue itu untuk menerima alasan gue dan memperbaiki nilai gue karena gue takut ketika mengulang mata kuliah itu nanti gue ketemu dosen yang sama dan gue ditidakluluskan lagi. Gue coba menceritakan ini semua ke dosen pendamping gue yang sekaligus ketua bagian akademik. Beliau juga bilang gak bisa bantu apa - apa dan merekomendasikan untuk mengikuti semester sisipan. Terpaksa gue mengeluarkan uang yang gak sedikit untuk memperbaiki nilai yang menurut gue seharusnya bisa dapet B.

Yaudah gitu aja sih.

Note : Artikel ini pernah saya posting di blog lama saya yaitu alviblog.com pada 11 Juli 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku, Pikiranku, Perasaanku

Hai guys. Dengan gw Alvi. Pernah nggak sih merasa emosi banget terus melakukan sesuatu terus ujung-ujungnya nyesel karena nggak mikir panjang untuk melakukan hal tersebut? Atau, pernah gak tiba-tiba bikin keputusan cuma gara-gara terpengaruh omongan orang lain? Kalau iya, kamu nggak sendirian. Sebenarnya itu wajar. Tapi kita juga harus tau kalau itu adalah sesuatu yang salah. Gw akan mulai dengan sebuah pertanyaan "Siapakah aku?" Jawaban sederhananya, aku adalah pemilik semua yang aku miliki. Pikiranku, perasaanku dan tubuhku adalah milikku. Artinya aku bukanlah pikiranku, perasaanku dan tubuhku. Harusnya aku yang mengendalikan milikku. Jangan sampai milikku yang mengendalikan aku. Kalau aku punya uang artinya jangan sampai uang mengendalikan aku. Semoga sampai sini bisa di pahami ya. Pikiran dan Perasaan Itu Hanya Input Kita sering lupa (Atau bahkan gak tau) kalau pikiran dan perasaan itu harusnya cuma sebagai input buat diri kita (aku), sama selayaknya masukan yang kita ...

40 Pelajaran Hidup di Usia 40 Tahun ala Raditya Dika

Walaupun umur gw sekarang masih 31 tapi tidak ada salahnya belajar dari orang berusia 40 tahun. Apa lagi Raditya Dika adalah idola gw sejak jaman SMP ketika penampilah dia selalu terlihat seperti orang baru bangun tidur. hahaha. Dari 40 poin yang di sampaikan Radit, yang menurut gw paling penting dan gw setuju banget adalah nomor 32. Oke langsung aja 40 Pelajaran Hidup di Usia 40 Tahun ala Raditya Dika yang gw simak dari youtube Raditya Dika. 1-5: Menerima Diri dan Menjaga Kehidupan Sosial 1. Tidak apa-apa menjadi orang aneh Penting banget menjadi diri sendiri dan menerima keunikan kita, meskipun sering dianggap aneh oleh orang lain. Keberanian untuk tampil beda bisa menjadi modal berharga. Ini adalah prinsip yang sudah gw pegang sejak lama. Gw gak pernah ragu untuk di pandang aneh karena pemikiran yang berbeda dari kebanyakan orang. 2. Jangan gosipin orang Hindari pembicaraan yang tidak produktif dan fokus pada hal-hal yang lebih bermanfaat. Ini mengajarkan kita untuk lebih...

[CERPEN] Gus Miftah Gagal Seleksi PPPK Karena Tukang Es Teh

Sebuah Cerpen dari Catatan Alvi. Di sebuah desa bernama Ketapang Sari, Gus Miftah dikenal sebagai tokoh agama yang selalu membawa suasana ceria ke mana pun dia pergi. Ia sering berdakwah di tempat-tempat tak biasa, seperti warung kopi, pasar malam, bahkan di depan gerobak bakso. Karismanya memikat siapa saja, tetapi ada satu kelemahan Gus Miftah: dia kadang suka berbicara terlalu ceplas-ceplos. Hari itu, kabar mengenai seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mulai ramai dibicarakan. Posisi untuk guru agama dibuka, dan Gus Miftah merasa terpanggil. “Insya Allah, ini kesempatan bagus,” ujar Gus Miftah kepada santrinya. “Kalau saya diterima, bisa jadi jalan dakwah yang lebih luas.” Santri-santrinya mendukung penuh. “Tapi Gus,” kata Mukhlas, salah satu santri senior, “kalau ikut seleksi, Gus harus lebih hati-hati bicara. Kadang celetukan Gus bikin orang lain baper.” “Ah, itu kan cuma gaya saya. Santai saja, Mukhlas,” jawab Gus Miftah sambil tersenyum lebar. --- Ha...